Makalah
Hukum Adat
Hukum Adat di
Aceh Tenggara
Disusun
Oleh
FARRAH MEUTIA
Jurusan:
TARBIYAH
Prodi: PBI
ZAWIYAH
COT KALA LANGSA
2013 / 2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Aceh terdiri dari berbagai bahasa salah satunya Alas, suku Alas
secara geografis terletak di dekat Sumatra Utara, Blang Keujren (Gayo), Aceh Singkil
dan Tapak Tuan. Kuta Cane (Alas) terdapat gunung Lauser dan banyak sungai-sungai
yang mengalir dari pegunungan melintasi higga ke aliran sungai Blang Keujren dan
banyak adat serta suku yang bervariasi yang
terdapat di aceh alas ini. Alasan ini yang mendorong saya menulis makalah ini yang berjudul “hukum adat
di Aceh Tenggara” agar pembaca lebih mengetahui system adat yang diterapkan Kuta
Cane.
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut;
1.
Sejarah kabupaten Aceh Tenggara.
2.
Sejarah dan Masyarakat Aceh Tenggara.
3.
Aturan adat suku Alas dalam melindungi
alam.
4.
Kebijakan yang dilakukan pemerintah
Aceh Tenggara.
BAB II
PEMBAHASAN
HUKUM
ADAT DI ACEH TENGGARA
A. Kabupaten Aceh Tenggara
Kabupaten Aceh Tenggara adalah salah satu kabupaten
di Aceh,
Indonesia.
Kabupaten ini berada di daerah pegunungan dengan ketinggian 1.000 meter di atas
permukaan laut, yakni bagian dari pegunungan Bukit Barisan. Taman Nasional Gunung Leuser yang
merupakan daerah cagar alam nasional terbesar terdapat di kabupaten ini. Pada
dasarnya wilayah Kabupaten Aceh Tenggara kaya akan potensi wisata alam, salah
satu diantaranya adalah Sungai Alas yang sudah dikenal luas sebagai tempat olah
raga Arung Sungai yang sangat menantang. Secara umum ditinjau dari potensi
pengembangan ekonomi, wilayah ini termasuk Zona Pertanian. Potensi ekonomi
daerah berhawa sejuk ini adalah kopi dan hasil hutan. Dalam bidang
Pertambangan, Aceh Tenggara memiliki deposit bahan galian golongan-C yang
sangat beragam dan potensial dalam jumlah cadangannya.
B. Sejarah dan Masyarakat Aceh Tenggara
Aceh
tenggara lebih multikultural di banding aceh bagian tengah (Aceh tengah, bener
meriah dan gayo lues) yakni di diami oleh lebih dari 3 suku yaitu: suku Alas sebagai suku tempatan
di kabupaten ini di ikuti oleh suku singkil,Aceh,Karo,Batak,Gayo,Jawa,Minangkabau,
Mandailing,
Nias dan suku Aneuk Jamee.
Kabupaten
ini memiliki suatu keunikan, di mana mempunyai masyarakat yang majemuk tetapi
hampir tidak ada terdengar sama sekali kerusuhan yang melibatkan Sara(suku,Agama,dan
Ras),masyarakatnya mampu menjaga perdamaian sampai saat ini.
Kabupaten Aceh Tenggara adalah pemekaran dari Kabupaten Aceh Tengah,awal berdirinya
kab,Agara(kabupaten Aceh tenggara) adalah di mulai ketika pada tgl
06-Desember-1957 terbentuk panitia tuntutan rakyat Alas dan Gayo Lues melalui sebuah rapat di sekolah Min
prapat hulu yg di hadiri oleh 60 pemuka adat Alas dan Gayo lues, dan
hasilnya adalah. :
2) Jika tidak memungkinkan memindahkan ibukota ke Kutacane,maka
kewedanan Alas
dan gayo lues di jadikan satu kabupaten yg tidak terlepas dari Provinsi Aceh.
Atas
tuntutan itu diadakanlah rapat raksasa di Kutacane
yg di hadiri lebih dari 200.000 orang. Akhirnya
pada tanggal 26-juni-1974 kab,Agara di resmikan oleh mentri dalam negeri H,Amir
machmud sebagai kabupaten yg terlepas dari kabupaten Aceh tengah,sekaligus diangkatlah Bupati pertama yakni (Alm) H,syahadat.
C.
Aturan
Adat Suku Alas dalam Melindungi Alam
Di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas hidup berdampingan dengan 11
etnis lainnya. Walaupun memiliki keanekaragaman dari segi etnis dan agama, di
tanah Alas tidak pernah terjadi konflik antar penduduk yang diakibatkan oleh
perbedaan tersebut. Inilah yang membuat wilayah perbukitan di daerah Aceh
Tenggara terkesan damai dan asri heterogen.
Keheterogenan kehidupan di tanah Alas kemudian menjadi keunikan
tersendiri yang dimiliki oleh Aceh Tenggara, membuat kehidupan setiap elemen
masyarakatnya sangat berwarna dan bervariasi. Setiap unsur masyarakat yang
berbeda kebudayaan saling berbaur dan saling mempengaruhi antara satu
kebudayaan dengan kebudayaan yang lain.
Atas dasar etiologi kehadiran berbagai etnis di tanah Alas,
jelaslah bahwa tidak ada satu orang pun yang dapat hidup berdiri sendiri,
begitu juga dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten ini. Semua
pihak perlu terlibat baik secara langsung maupun tidak. Keberagaman suku dan
keyakinan akan menjadikan keunikan tersendiri bagi masyarakat di sana dalam
membangun daerahnya.
Untuk memelihara keasrian alamnya, masyarakat Alas memeliki
beberapa aturan adat dalam upaya penyelamatan sumber daya alam yang di kabupaten Aceh Tenggara. Aturan-aturan tersebut terbagi dalam
beberapa definisi, berikut ini beberapa diantaranya:
Dheleng (hutan) sebagai kekayaan imum/kepala mukim bersama rakyatnya di
Tanah Alas adalah selebar wilayah kemukiman dengan panjang jauh ke dalam hutan
½ (setengah) hari perjalanan kaki atau hingga dhalan/pasakh mesosen, yang
dimanfaatkan tidak merusak, agar aliran air sungai/pakhik jume tetap normal untuk
pertanian/bersawah dan keperluan hidup rakyat.
Pencuri hasil hutan dan perusakannya (menebang kayu, pengambil
rotan, dan produk non kayu tanpa sepengetahuan MAA kampung setempat dan tanpa
izin dari imum/kepala mukim) dikenakan sanksi adat menyerahkan seluruh hasil
curiannya ke kampung tempat kejadian pelanggaran adat. Pelaku dikenakan denda
tiga puluh dua penengah hingga mbelin (Rp320.000-Rp3.200.000).
Bagi pengebom, peracun, penyetrum, dan pemusnahan ikan jurung, ciih
khemis, dan ciih situ dan jenis ikan lainnya di
sepanjang sungai Lawe Alas, sungai-sungai kecil, dan irigasi desa, termasuk
seluruh tali air di Tanah Alas dikenakan saksi adat ngateken kesalahen dan ikan
tangkapan di luar ketentuan adat tersebut dikembalikan ke MAA setempat serta
dikenakan denda tiga puluh dua penengah hingga mbelin (Rp320.000-Rp3.200.000)
bagi si pelaku.
Seseorang yang mengambil ikan wilayah pinahan (lubuk larangan) dan
sejenisnya tanpa izin masyarakat adat yang mengelola secara adat di Tanah Alas
dikenakan saksi ngateken kesalahen dan ikan
tangkapan tersebut dikembalikan ke MAA kampung setempat untuk diserahkan kepada
pemiliknya serta dikenakan denda tiga puluh dua penengah hingga mbelin
(Rp320.000-Rp3.200.000).
Orang yang mengambil, menangkap, atau memburu satwa liar dan
sejenisnya tanpa izin MAA setempat, dikenakan saksi adat ngateken
kesalahen dan hasil buruan/tangkapannya tersebut dikembalikan ke
MAA setempat untuk diserahkan atau dikembalikan ke habitatnya bila masih hidup,
dan dikenakan denda tiga puluh dua penengah hingga mbelin
(Rp320.000-Rp3.200.000).
Hukum adat (customary law) adalah bagian dari
hukum, ialah hukum tidak tertulis dalam suatu masyarakat yang biasanya bermata
pencaharian pertanian di daerah pedesaan. Hukum adat terjadi dari
keputusan-keputusan orang-orang berkuasa dalam pengadilan.
A.W. Wijaya dalam tulisannya yang berjudul “Manusia, Nilai
Tradisional dan Lingkungan”, berperspektif bahwa hukum adat adalah norma lama
yang masih terdapat dimana-mana di daerah dan di dalam masyarakat yang
merupakan kekayaan yang tidak ternilai harganya, termasuk di daerah Suku Alas
berada. Maka sudah semestinya kita menghargai dan mematuhi hukum adat yang
berlaku dimanapun kita tinggal, “di mana tanah dipijak di situ langit
dijunjung.”
D. Kebijakan
1.
Kebijakan Sektoral
Kebijakan umum pembangunan Kabupaten Aceh Tenggara adalah
sebagai berikut:
a.
Meningkatkan derajat keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa
dengan moral dan budi pekerti yang luhur;
b.
Mengupayakan peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan prioritas
penanganan kemiskinan dan pengangguran dengan berbagai upaya, antara lain;
Peningkatan
kecerdasan dengan penekanan pada lulusan yang berkualitas serta penyiapan
tenaga kerja terampil. Peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat yang
difokuskan pada upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat, penanganan ibu
hamil, bayi dan balita serta pengembangan jaminan sosial. Peningkatan
pendapatan melalui pemberdayaan ekonomi kerakyatan guna mewujudkan pemenuhan
kebutuhan dasar masyarakat
c.
Menciptakan pemerintahan yang baik dan bertanggungjawab yang ditandai
adanya kemampuan cara berfikir dan bertindak yang baru melalui pembenahan
sistem kepemerintahan. penyiapan kelembagaan/lembaga yang mutakhir dan peyiapan
SDM aparatur yang efisien;
d.
Menyelenggarakan sistem pengawasan yang efektif dengan memfungsikan lembaga
pengawas internal dan lembaga pengawas eksternal;
e.
Meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam proses penentuan kebijakan
(tahap formulasi, implementasi maupun evaluasi) melalui forum formal maupun
informal;
f.
f. Mengupayakan penegak supremasi hukum dalam rangka mencapai ketertiban,
keamanan, dan ketentraman masyarakat;
g.
Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan PDRB dengan berbagai upaya,
antara lain :
-
Intensifikasi dan ekstensifikasi penggalian sumber pendapatan daerah,
secara efektif dan efisien ;
-
Pengelolaan dan pemeliharaan sarana prasarana daerah yang sudah dimiliki ;
-
Terobosan kebijakan yang menciptakan kondisi yang ideal bagi para investor
dengan pola kemitraan; serta
-
Membangun sarana dan prasarana produksi baru guna mewujudkan kemandirian
dalam rangka melaksanakan otonomi daerah.
h.
Mewujudkan lingkungan hidup yang seimbang, terkendali dan lestari dengan
pendekatan pemberdayaan masyarakat; dan
i.
Pembangunan infrastruktur daerah dengan penekanan pada sarana irigasi.
2.
Kebijakan Spasial
Oleh karena seluruh pelaksanaan
pembangunan dalam kerangka sektoral akan selalu menempati ruang tertentu, maka
diperlukan kebijakan spasial dalam rangka menentukan lokasi dan alokasi pemanfaatan
ruang untuk mewadahi kegiatan sektoral. Bentuk nyata dari arahan kebijakan
spasial adalah ketentuan jenis dan intensitas kegiatan yang akan dikerjakan
pada kawasan tertentu. Dalam menentukan kebijakan spasial ini disesuaikan
dengan masing-masing potensi dan masalah wilayah tempat dilaksanakannya
pembangunan serta menggunakan konsep corridor and radial concentric
development. Secara makro Kabupaten Aceh Tenggara terbagi menjadi daerah sub
urban dan daerah rural yang terkait erat dengan perkembangan Propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam.
Berkaitan dengan hal diatas serta
dengan memperhatikan ragam potensi bagian-bagian wilayah serta terjadinya
kecenderungan perkembangan ragam jenis kegiatan, diperlukan tema-tema
pengelolaan/pengembangan yang merupakan integrasi/kompromi pemanfaatan ruang
yang berfungsi sebagai penanda dan pengarah pencapaian tujuan dimasa yang akan
datang.
Hal-hal penting yang menjadi dasar
penetapan tema-tema pengelolaan dan pengembangan adalah kondisi tumpang tindih
dari potensi kesesuaian/ kemampuan lahan, fakta produktivitas budidaya,
kegiatan ekonomi dan realitas perkembangan permukiman.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kabupaten Aceh Tenggara adalah salah satu kabupaten
di Aceh,
Indonesia.
Kabupaten ini berada di daerah pegunungan dengan ketinggian 1.000 meter di atas
permukaan laut, yakni bagian dari pegunungan Bukit Barisan
Di
kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas hidup berdampingan dengan 11 etnis lainnya.
Walaupun memiliki keanekaragaman dari segi etnis dan agama, di tanah Alas tidak
pernah terjadi konflik antar penduduk yang diakibatkan oleh perbedaan tersebut.
Inilah yang membuat wilayah perbukitan di daerah Aceh Tenggara terkesan damai
dan asri heterogen.
Hukum
adat (customary
law) adalah bagian dari hukum, ialah hukum tidak tertulis dalam
suatu masyarakat yang biasanya bermata pencaharian pertanian di daerah
pedesaan. Hukum adat terjadi dari keputusan-keputusan orang-orang berkuasa
dalam pengadilan.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa
dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca terutama pada
dosen mata kuiah ini, agar dapat pembuatan makalah selanjutnya menjadi lebih
baik. Atas kritik dan saranya, penulis ucapkan terima kasih.
DAFTAR
PUSTAKA
Dr. Thalib Akbar, M.Sc. 2004. Sanksi
dan Denda Tindak Pidana Adat Alas.
Simarmata, Rikarda. 2006. Pengakuan
Hukum Terhadap Masyarakat Adat Di Indonesia. Regional Initiative on
Indigenous Peoples Rights and Development (RIPP) UNDP Redional Center in
Bangkok.
Suwarto (dkk), 2006, Mengangkat
Keberadaan Hak-hak Tradisional Masyarakat Adat Rumpun Melayu Se-Sumatera,
Pekanbaru : Unri Press.
Widjaja , A.W. (Ed.)
1986 Manusia Indonesia: Individu, Keluarga dan
Masyarakat. Jakarta: Penerbit Akademika Pressindo C.V
Zul Arma. 2010. Aceh Tenggara Negeri Leuser
yang Perlu Komitmen. Dimuat di Buletin Tuhoe Edisi XII.