Sabtu, 19 Maret 2016

Makalah Harta Benda (Mal)

Disusun
Oleh

FARRAH MEUTIA

Jurusan : TARBIYAH
Prodi : PBI

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
ZAWIYAH COT KALA LANGSA
2013 / 2014 




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Manusia dengan sifat fitrahnya amat suka kepada harta dan mengumpulnya. Mereka tidak pernah merasa puas dalam mengejar harta kekayaan. Tidak ada sesuatu yang dapat menghalang kecintaan mereka mengejar harta kecuali kematian.
Al Qur’an menggambarkan manusia mencintai harta kekayaan melebihi kecintaan kepada anak-anak dan keluarga dengan firmna-Nya: “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi, amalan-amalan yang kekal lagi soleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menajadi harapan” (al Kahfi: 46)
Ayat ini mendahulukan perkataan harta dari pada perkataan anak-anak yang menunjukkan manusia amat mencintai harta kekayaan.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan harta benda/ mal?
2.      Bagaimanakah kedudukan dan fungsi harta benda/ mal?
3.      Bagaimanakah sebab-sebab kepemilikan harta benda/ mal?

C.    Tujuan Masalah
1.      Untuk mengetahui pengertian harta benda/ mal.
2.      Untuk mengetahui kedudukan dan fungsi harta benda/ mal.
3.      Untuk mengetahui sebab-sebab kepemilikan.


BAB II
HARTA BENDA / MAL
A.    Pengertian Harta
Harta dalam bahasa Arab disebut al-mal, berasal dari kata مال- بميل- ميلا yang menurut bahasa berarti condong, cenderung, atau miring. Al-mal juga diartikan sebagai segala sesuatu yang menyenangkan manusia dan mereka pelihara, baik dalam bentuk materi, maupun manfaat.
Menurut bahasa umum, arti mal ialah uang atau harta. Adapun menurut istilah, ialah “segala benda yang berharga dan bersifat materi serta beredar di antara manusia”.[1]
Menurut ulama Hanafiyah yang dikutip oleh Nasrun Haroen,[2] al-mal (harta) yaitu:
ما يميل إليه طبع الانسان ويمكن إدخاره الى وقت الحاجة أو كان ما يمكن حيازتة واحرازه وينتفع به
 “Segala yang diminati manusia dan dapat dihadirkan ketika diperlukan, atau segala sesuatu yang dapat dimiliki, disimpan dan dimanfaatkan.
Menurut jumhur ulama (selain ulama Hanafiyah) yang juga dikutip oleh Nasroen Haroen, al-mal (harta) yaitu:
كل ما له قيمة يلزم متلفها بضمانه
"segala sesuatu yang mempunyai nilai, dan dikenal ganti rugi bagi orang yang merusak atau melenyapkannya"
Harta tidak saja bersifat materi melainkan juga termasuk manfaat dari suatu benda. Akan tetapi, ulama Hanafiyah berpendirian bahwa yang dimaksud dengan harta itu hanya bersifat materi.
Milik adalah sesuatu yang dapat digunakan secara khusus dan tidak dicampuri penggunaannya oleh orang lain. Adapun harta adalah sesuatu yang dapat disimpan untuk digunakan ketika dibutuhkan. Dalam penggunaannya, harta dapat dicampuri oleh orang lain. Jadi, menurut ulama Hanafiyah, yang dimaksud harta hanyalah sesuatu yang berwujud (a’yan).[3]
B.     Harta Menurut Pakar
·           Dalam pandangan ulama hanafiyah yang dimaksud dengan mal ialah membedakan antara hak milik dengan harta. Sementara jumhur ulama tidak membedakannya. Ulama hanafiyah membedakan antara Hak milik dengan harta:
1.        Hak Milik adalah sesuatu yang dapat digunakan secara khusus dan tidak dicampuri penggunaannya oleh orang lain.
2.        Harta adalah segala sesuatu yang dapat disimpan untuk digunakan ketika dibutuhkan, dalam penggunaannya bisa dicampuri orang lain. sesuatu yang digandrungi tabiat manusia dan memungkinkan untuk disimpan hingga dibutuhkan atau bisa juga harta adalah segala sesuatu yang dapat disimpan untuk digunakan ketika dibutuhkan, dalam penggunaannya bisa dicampuri oleh orang lain, maka menurut Hanafiah yang dimaksud harta hanyalah sesuatu yang berwujud (a’yam).
·           Madzab Maliki mendefinisikan hak milik menjadi dua macam. Pertama, adalah hak yang melekat pada seseorang yang menghalangi orang lain untuk menguasainya. Kedua, sesuatu yang diakui sebagai hak milik secara ’uruf (adat).
·           Madzab Syafi’i mendefinisikan hak milik juga menjadi dua macam. Pertama, adalah sesuatu yang bermanfaat bagi pemiliknya; kedua, bernilai harta.
·           Hambali juga mendefinisikan hak milik menjadi dua macam. Pertama, sesuatu yang mempunyai nilai ekonomi; kedua, dilindungi undang-undang. Dari 4 madzab tersebut dapat disimpulkan tentang pengertian harta/hak milik:
1.      Sesuatu itu dapat diambil manfaat
2.      Sesuatu itu mempunyai nilai ekonomi
3.      Sesuatu itu secara ’uruf (adat yang benar) diakui sebagai hak milik
4.      Adanya perlindungan undang-undang yang mengaturnya.
C.    Kedudukan Fungsi Harta
Harta termasuk salah satu keperluan pokok manusia dalam menjalani kehidupan di dunia ini, sehingga oleh ulama ushul fiqh persoalan harta dimasukkan ke dalam salah satu al-dharuriyyat al-khamsah (lima keperluan pokok), yang terdiri atas: agama, jiwa, akal keturunan dan harta.
Selain merupakan salah satu keperluan hidup yang pokok bagi manusia, harta juga merupakan perhiasan kehidupan dunia, sebagai cobaan (fitnah), sarana untuk memenuhi kesenangan dan sarana untuk menghimpun bekal bagi kehidupan akhirat.
Allah berfirman: Surat At-Taghaabun: 15.
!$yJ¯RÎ) öNä3ä9ºuqøBr& ö/ä.ß»s9÷rr&ur ×puZ÷GÏù 4 ª!$#ur ÿ¼çnyYÏã íô_r& ÒOŠÏàtã ÇÊÎÈ  
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.”
            Harta sebagai sarana untuk memenuhi kesenangan, Allah berfirman: Surat Ali-Imran: 14
z`Îiƒã Ĩ$¨Z=Ï9 =ãm ÏNºuqyg¤±9$# šÆÏB Ïä!$|¡ÏiY9$# tûüÏZt6ø9$#ur ÎŽÏÜ»oYs)ø9$#ur ÍotsÜZs)ßJø9$# šÆÏB É=yd©%!$# ÏpžÒÏÿø9$#ur È@øyø9$#ur ÏptB§q|¡ßJø9$# ÉO»yè÷RF{$#ur Ï^öysø9$#ur 3 šÏ9ºsŒ ßì»tFtB Ío4quysø9$# $u÷R9$# ( ª!$#ur ¼çnyYÏã ÚÆó¡ãm É>$t«yJø9$# ÇÊÍÈ  
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak  dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).”
Harta sebagai sarana untuk menghimpun bekal menuju kehidupan akhirat, Allah berfirman: Surat Al-Baqarah: 262.

tûïÏ%©!$# tbqà)ÏÿZムöNßgs9ºuqøBr& Îû È@Î6y «!$# §NèO Ÿw tbqãèÎ7÷Gム!$tB (#qà)xÿRr& $xYtB Iwur ]Œr&   öNçl°; öNèdãô_r& yYÏã öNÎgÎn/u Ÿwur ì$öqyz óOÎgøŠn=tæ Ÿwur öNèd šcqçRtóstƒ ÇËÏËÈ  
“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
Adapun fungsi harta dapat dijelaskan sebagai berikut[4]:
Fungsi harta sangat banyak, baik kegunaan dalam hal yang baik maupun kegunaan hal yang jelek. Di antara sekian banyak fungsi harta sebagai berikut:
1.      Berfungsi untuk menyempurnakan pelaksanaan ibadah yang khas (mahdhah), sebab untuk beribadah diperlukan alat-alat, seperti kain untuk menutup aurat dalam pelaksanaan shalat, bekal untuk melaksanakan ibadah haji, berzakat, sedekah dan hibah.
2.      Untuk meningkatkan (ketakwaan) kepada Allah, sebab kekafiran cenderung dekat kepada kekafiran, sehingga pemilikan harta dimaksudkan untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah.
3.      Untuk meneruskan kehidupan dari suatu periode ke periode berikutnya, sebagaimana firman Allah: Surat An-Nisa: 9.
|·÷uø9ur šúïÏ%©!$# öqs9 (#qä.ts? ô`ÏB óOÎgÏÿù=yz Zp­ƒÍhèŒ $¸ÿ»yèÅÊ (#qèù%s{ öNÎgøŠn=tæ (#qà)­Guù=sù ©!$# (#qä9qà)uø9ur Zwöqs% #´ƒÏy
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.”



4.      Untuk menyelaraskan (menyeimbangkan) antara kehidupan dunia dan akhirat. Nabi SAW bersabda:
ليس بخير كم من ترك الدنيا لآخرته ولآخرة لدنياة حتى يصيبا جميعا فإن الدن بلاغ الى الآخرة (رواه البخارى)
Bukanlah orang yang baik yang meninggalkan masalah dunia untuk masalah akhirat, dan yang meniggalkan masalah akhirat untuk urusan dunia, sehingga seimbang di antara keduanya, karena masalah dunia adalah menyampaikan manusia kepada masalah akhirat.
5.      Untuk mengembangkan dan menegakkan ilmu-ilmu, karena menuntut ilmu tanpa biaya akan terasa sulit, misalnya, seseorang tidak dapat kuliah di perguruan tinggi, jika ia tidak memiliki biaya.
6.      Untuk memutar (men-tasharruf) peran-peran kehidupan, yakni adanya pembantu dan tuan, adanya orang kaya dan miskin yang saling membutuhkan, sehingga tersusunlah masyarakat yang harmonis dan berkecukupan.
7.      Untuk menumbuhkan silaturahmi, karena adanya perbedaan dan keperluan antara satu sama lain. Firman Allah: Surat Al-Hasyr: 7.
ös1 Ÿw tbqä3tƒ P's!rߊ tû÷üt/ Ïä!$uŠÏYøîF{$# öNä3ZÏB 4
“Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu.
Penggunaan harta dalam ajaran Islam harus senantiasa dalam pengabdian kepada Allah dan dimanfaatkan dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Pemanfaatan harta pribadi tidak boleh hanya untuk pribadi pemilik harta, melainkan juga digunakan untuk fungsi sosial dalam rangka membantu sesama manusia.[5]

A.    Macam-Macam Harta
1.      Harta Mutaqawwim dan Ghair Mutaqawwim. Harta Mutaqawwim adalah sesuatu yang boleh diambil manfaatnya menurut syara’. Atau semua harta yang baik jenisnya maupun cara memperoleh dan penggunaanya. Harta Ghair Mutaqawwim adalah sesuatu yang tidak boleh diambil manfaatnya, baik jenisnya, cara memperolehnya maupun cara penggunaanya.
2.      Mal Mitsli dan Mal Qimi Harta Mitsli adalah benda-benda yang ada persamaan dalam kesatuan-kesatuannya, dalam arti dapat berdiri sebagaimana di tempat yang lain tanpa ada perbedaan yang perlu dinilai. Harta Qimi adalah benda-benda yang kurang dalam kesatuan-kesatuannya karena tidak dapat berdiri sebagian di tempat sebagian yang lainnya tanpa ada perbedaan.
3.      Harta Istihlak dan harta Isti’mal. Harta Istihlak adalah sesuatu yang tidak dapat diambil kegunaanya dan manfaatnya secara biasa kecuali dengan menghabiskannya. Harta Istihlak terbagi menjadi dua, yaitu: Istihlak Haqiqi adalah suatu benda yang menjadi harta yang secara jelas (nyata) zatnya habis sekali digunakan. Istihlak Buquqi adalah suatu harta yang sudah habis nilainya bila telah digunakan tetapi zatnya masih tetap ada. Harta Isti’mal adalah sesuatu yang dapat digunakan berulanag kali dan materinya tetap terpelihara. Harta isti’mal tidaklah habis dengan satu kali menggunakan tetapi dapat digunakan lama menurut apa adanya.
4.      Harta Manqul dan Harta Ghair Manaqula. Harta Manqul adalah segala harta yang dapat dipindahkan (bergerak) dari satu tempat ke tempat lainya baik tetap ataupun berubah kepada bentuk yang lainnya seperti uang, hewan, benda-benda yang ditimbang atau diukur. Harta Ghair Manaqul adalah sesuatu yang tidak bisa dipindahkan dan dibawa dari satu tempat ke tempat lain.

B.     Pengertian Hak dan Milik
Kata hak berasal dari bahasa Arab al-haqq,  yang secara etimologi mempunyai beberapa pengertian yang berbeda, di antaranya berarti: milik, ketetapan dan kepastian, menetapkan dan mejelaskan, bagian (kewajiban), dan kebenaran.

Contoh al-haqq diartikan dengan ketepatan dan kepastian terdapat dalam surat Yasin ayat 7:
ôs)s9 ¨,ym ãAöqs)ø9$# #n?tã öNÏdÎŽsYø.r& ôMßgsù Ÿw tbqãZÏB÷sムÇÐÈ  
Sesungguhnya telah pasti Berlaku Perkataan (ketentuan Allah) terhadap kebanyakan mereka, karena mereka tidak beriman.

Dalam mitologi fiqh terdapat beberapa pengertian al-haqq yang dikemukakan oleh para ulama fiqh, di antara menurut Wahbah al-Zuhaily:[6]
Kata milik berasal dari bahasa Arab al-milk, yang secara etimologi berarti penguasaan terhadap sesuatu. Al Milk juga berarti sesuatu yang dimilki (harta). Milk juga merupakan hubungan seseorang dengan suatu harta yang diakui oleh syara’, yang menjadikannya mempunyai kekuasaan khusus terhadap harta itu, sehingga ia dapat melakukan tindakan hukum terhadap harta tersebut, kecuali adanya kalangan syara’. Kata milik dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari kata al-milk dalam bahasa Arab.

Secara mitologi, al-milk didefinisikan oleh Muhammad Abu Zahrah[2] sebagai berikut:
إختصاص يمكن صاحبه شرعا أن يستبد بالتصرف والانتفاع عند عدم المانع الشرعي.
 “Pengkhususan seseorang terhadap pemilik sesuatu benda menurut syara’ untuk bertindak secara bebas dan bertujuan mengambil manfaatnya selama tidak ada penghalang yang bersifat syara”
Berdasarkan definisi tersebut, dapat dibedakan antara hak dan milik. Untuk lebih jelasnya dicontohkan sebagai berikut: Seorang pengampu berhak menggunakan harta orang yang berada di bawah ampuannya. Pengampu berhak untuk membelanjakan harta itu dan pemiliknya adalah orang yang berada dibawah ampuannya. Dengan kata lain, tidak semua yang memiliki benda berhak menggunakan dan tidak semua yang punya hak penggunaan dapat memiliki.
Hak yang dijelaskan di atas adakalanya merupakan sulthah (kekuasaan) adakalanya berupa taklif (tanggung jawab).
1.      Sulthah terbagi dua, yaitu sulthah ‘ala al-nafsi dan ‘ala syaiin mu’ayyanin.
-          Sulthah ‘ala al-nafsi ialah hak seseorang terhadap jiwa, seperti hak hadhanah (pemeliharaan anak)
-          Sulthat ‘ala syaiin mu’ayyanin ialah hak manusia untuk memiliki sesuatu, seperti seseorang berhak memiliki mobil.
2.      Taklif adalah orang yang bertanggung jawab. Taklif adakalanya tanggungan pribadi (‘ahdah syakhshiyyah), seperti seorang buruh menjalankan tugasnya, adakalanya tanggungan harta (‘ahdahmaliyah), seperti membayar utang.

A.    Sebab-Sebab Pemilikan
Para ulama fiqh menyatakan bahwa ada empat cara pemilikan harta yang disyari’atkan Islam:[7]
1.      Melalui penguasaan terhadap harta yang belum dimiliki seseorang atau lembaga hukum lainnya, yang dalam Islam disebut harta yang mubah. Contohnya: bebatuan di sungai yang belum dimiliki seseorang atau lembaga hukum. Apabila seseorang mengambil batu dan pasir dari sungai itu dan membawanya ke rumahnya, maka batu dan pasir itu menjadi miliknya, dan orang lain tidak boleh mengambil batu pasir yang telah ia kuasai itu.
2.      Melalui suatu transaksi yang ia lakukan dengan orang atau suatu lembaga hukum, seperti jual beli, hibah dan wakaf.
3.      Melalui peninggalan seseorang, seperti menerima harta warisan dari ahli warisnya yang wafat.
4.      Hasil/buah dari harta yang telah dimilki seseorang, sama ada hasil itu datang secara alami, seperti buah pohon di kebun, anak sapi yang lahir dan bulu domba seseorang, atau melalui suatu usaha pemiliknya, seperti hasil usaha sebagai pekerja atau keuntungan dagang yang diperoleh seorang pedagang.

B.     Hikmah Kepemilikan
Dengan mengetahui cara-cara pemilikan harta menurut syariat Islam banyak hikmah yang dapat digali untuk kemaslahatan hidup manusia, antara lain dalam garis besarnya:
1.      Manusia tidak boleh sembarangan memiliki harta, tanpa mengetahui aturan-aturan yang berlaku yang telah disayariatkan Islam.
2.      Manusia akan mempunyai prinsip bahwa mencari harta itu harus dengan cara-cara yang baik, benar dan halal.
3.      Memiliki harta bukan hak mutlak bagi manusia, tetapi merupakan suatu amanah (titipan) dari Allah SWT yang harus digunakan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan hidup manusia dan disalurkan di jalan-jalan Allah untuk memperoleh rida-Nya.
4.      Menjaga diri untuk tidak terjerumus kepada hal-hal yang diharamkan oleh syara’ dalam memiliki harta.
5.      Manusia akan hidup tenang dan tentram apabila dalam mencari dan memiliki harta itu dilakukan dengan cara-cara yang baik, benar dan halal, kemudian digunakan dan dimanfaatkan sesuai dengan panduan (aturan-aturan) Allah SWT.



BAB III
PENUTUP
A.        Kesimpulan
Istilah HARTA, atau al-mal dalam al-Qur’an maupun Sunnah tidak dibatasi dalam ruang lingkup makna tertentu, sehingga pengertian al-Mal sangat luas dan selalu berkembang. Kriteria harta menurut para ahli fiqh terdiri atas : Pertama, memiliki unsur nilai ekonomis. Kedua, unsur manfaat atau jasa yang diperoleh dari suatu barang.
Pandangan Islam mengenai harta dapat diuraikan sebagai berikut:
Pertama, Pemiliki Mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di muka bumi ini adalah Allah SWT.
Kedua, status harta yang dimiliki manusia adlah sebagai berikut :
1.      harta sebagai amanah (titipan) dari Allah SWT. Manusia hanyalah pemegang amanah karena memang tidak mampu mengadakan benda dari tiada.
2.      Harta sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan manusia bisa menikmatinya dengan baik dan tidak berlebih-lebihan. Sebagai perhiasan hidup harta sering menyebabkan keangkuhan, kesombongan serta kebanggaan diri.
3.      Harta sebgai ujian keimanan. Hal ini menyangkut soal cara mendapatkan dan memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran Islam atau tidak.
4.      harta sebagai bekal ibadah, yakni untuk melaksankan perintahNyadan melaksanakan muamalah si antara sesama manusia, melalui zakat, infak, dan sedekah
B.      Saran
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca terutama pada dosen mata kuiah ini, agar dapat pembuatan makalah selanjutnya menjadi lebih baik. Atas kritik dan saranya, penulis ucapkan terima kasih.


DAFTAR PUSTAKA
Mujieb, Abdul. 1994.  Kamus Istilah Fiqh. Jakarta: PT. Pustaka Firdaus.
Haroen, Nasrun. 2007. Fiqh Muamala., Jakarta: Gaya Media Pratama.
Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah.
Al-Zuhaily, Wahbab. 2005. Al Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Damaskus: Dar al-Fikr.
Zahrah, Muhammad Abu. 1962. Al-Milkiyah wa Nazhariyah al-‘aqad fi al-syari’ah al-Islamiyah. Mesir; Dar al-Fikr al-Arabi


[1]     Wahbab al-Zuhaily, Al Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2005), juz 4, hlm.8.
[2]     Muhammad Abu Zahrah, Al-Milkiyah wa Nazhariyah al-‘aqad fi al-syari’ah al-Islamiyah, (Mesir; Dar al-Fikr al-Arabi, 1962), hlm. 15.
[3]     Lihat Mustafa Ahmad al-Zarqa’, Op.cit., hlm. 242 dan seterusnya.
[1]     Lihat Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, hlm. 27-29. Lihat pula Rahmat Syafe’i. Fiqh Muamalah, hlm. 30-31.
[4]     Lihat Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, hlm. 75.
[5]     M. Abdul Mujieb (et al), Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994), cet. Ke-1, hlm. 191.
[6]     Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), cet. Ke-2, hlm.73.
[7]     Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, hlm. 9-10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar