Disusun
Oleh
FARRAH MEUTIA
Jurusan :
TARBIYAH
Prodi : PBI
ZAWIYAH
COT KALA LANGSA
2013 / 2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia dengan
sifat fitrahnya amat suka kepada harta dan mengumpulnya. Mereka tidak pernah
merasa puas dalam mengejar harta kekayaan. Tidak ada sesuatu yang dapat
menghalang kecintaan mereka mengejar harta kecuali kematian.
Al Qur’an
menggambarkan manusia mencintai harta kekayaan melebihi kecintaan kepada
anak-anak dan keluarga dengan firmna-Nya: “Harta dan anak-anak adalah
perhiasan kehidupan dunia tetapi, amalan-amalan yang kekal lagi soleh adalah
lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menajadi harapan” (al
Kahfi: 46)
Ayat ini
mendahulukan perkataan harta dari pada perkataan anak-anak yang menunjukkan
manusia amat mencintai harta kekayaan.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan harta benda/ mal?
2. Bagaimanakah kedudukan dan fungsi harta benda/
mal?
3. Bagaimanakah sebab-sebab kepemilikan harta
benda/ mal?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian harta benda/ mal.
2. Untuk mengetahui kedudukan dan fungsi harta
benda/ mal.
3. Untuk mengetahui sebab-sebab kepemilikan.
BAB II
HARTA BENDA / MAL
A. Pengertian
Harta
Harta dalam
bahasa Arab disebut al-mal, berasal dari kata مال- بميل- ميلا yang menurut bahasa berarti
condong, cenderung, atau miring. Al-mal juga diartikan sebagai segala
sesuatu yang menyenangkan manusia dan mereka pelihara, baik dalam bentuk
materi, maupun manfaat.
Menurut bahasa
umum, arti mal ialah uang atau harta. Adapun menurut istilah, ialah
“segala benda yang berharga dan bersifat materi serta beredar di antara manusia”.[1]
Menurut ulama
Hanafiyah yang dikutip oleh Nasrun Haroen,[2]
al-mal (harta) yaitu:
ما يميل إليه طبع الانسان ويمكن إدخاره الى وقت الحاجة أو
كان ما يمكن حيازتة واحرازه وينتفع به
“Segala yang diminati manusia dan dapat
dihadirkan ketika diperlukan, atau segala sesuatu yang dapat dimiliki, disimpan
dan dimanfaatkan.
Menurut jumhur
ulama (selain ulama Hanafiyah) yang juga dikutip oleh Nasroen Haroen, al-mal
(harta) yaitu:
كل ما له قيمة يلزم متلفها بضمانه
"segala sesuatu yang mempunyai
nilai, dan dikenal ganti rugi bagi orang yang merusak atau melenyapkannya"
Harta tidak
saja bersifat materi melainkan juga termasuk manfaat dari suatu benda. Akan
tetapi, ulama Hanafiyah berpendirian bahwa yang dimaksud dengan harta itu hanya
bersifat materi.
Milik adalah
sesuatu yang dapat digunakan secara khusus dan tidak dicampuri penggunaannya
oleh orang lain. Adapun harta adalah sesuatu yang dapat disimpan untuk
digunakan ketika dibutuhkan. Dalam penggunaannya, harta dapat dicampuri oleh
orang lain. Jadi, menurut ulama Hanafiyah, yang dimaksud harta hanyalah sesuatu
yang berwujud (a’yan).[3]
B. Harta Menurut
Pakar
·
Dalam
pandangan ulama hanafiyah yang dimaksud dengan mal ialah membedakan antara hak
milik dengan harta. Sementara jumhur ulama tidak membedakannya. Ulama hanafiyah
membedakan antara Hak milik dengan harta:
1.
Hak Milik adalah sesuatu yang dapat digunakan secara khusus dan
tidak dicampuri penggunaannya oleh orang lain.
2.
Harta adalah segala sesuatu yang dapat disimpan untuk
digunakan ketika dibutuhkan, dalam penggunaannya bisa dicampuri orang lain.
sesuatu yang digandrungi tabiat manusia dan memungkinkan untuk disimpan hingga
dibutuhkan atau bisa juga harta adalah segala sesuatu yang dapat disimpan untuk
digunakan ketika dibutuhkan, dalam penggunaannya bisa dicampuri oleh orang lain,
maka menurut Hanafiah yang dimaksud harta hanyalah sesuatu yang berwujud (a’yam).
·
Madzab Maliki mendefinisikan hak milik menjadi
dua macam. Pertama, adalah hak yang melekat pada seseorang yang menghalangi
orang lain untuk menguasainya. Kedua, sesuatu yang diakui sebagai hak milik
secara ’uruf (adat).
·
Madzab Syafi’i mendefinisikan hak milik juga
menjadi dua macam. Pertama, adalah sesuatu yang bermanfaat bagi pemiliknya;
kedua, bernilai harta.
·
Hambali juga mendefinisikan hak milik menjadi
dua macam. Pertama, sesuatu yang mempunyai nilai ekonomi; kedua, dilindungi
undang-undang. Dari 4 madzab tersebut dapat disimpulkan tentang pengertian
harta/hak milik:
1.
Sesuatu itu dapat diambil manfaat
2.
Sesuatu itu mempunyai nilai ekonomi
3.
Sesuatu itu secara ’uruf (adat yang benar)
diakui sebagai hak milik
4.
Adanya perlindungan undang-undang yang
mengaturnya.
C. Kedudukan
Fungsi Harta
Harta termasuk
salah satu keperluan pokok manusia dalam menjalani kehidupan di dunia ini,
sehingga oleh ulama ushul fiqh persoalan harta dimasukkan ke dalam salah
satu al-dharuriyyat al-khamsah (lima keperluan pokok), yang terdiri
atas: agama, jiwa, akal keturunan dan harta.
Selain
merupakan salah satu keperluan hidup yang pokok bagi manusia, harta juga
merupakan perhiasan kehidupan dunia, sebagai cobaan (fitnah), sarana
untuk memenuhi kesenangan dan sarana untuk menghimpun bekal bagi kehidupan
akhirat.
Allah berfirman: Surat At-Taghaabun: 15.
!$yJ¯RÎ) öNä3ä9ºuqøBr& ö/ä.ß»s9÷rr&ur ×puZ÷GÏù
4 ª!$#ur
ÿ¼çnyYÏã íô_r&
ÒOÏàtã ÇÊÎÈ
“Sesungguhnya
hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang
besar.”
Harta
sebagai sarana untuk memenuhi kesenangan, Allah berfirman: Surat Ali-Imran: 14
z`Îiã Ĩ$¨Z=Ï9 =ãm ÏNºuqyg¤±9$# ÆÏB Ïä!$|¡ÏiY9$# tûüÏZt6ø9$#ur ÎÏÜ»oYs)ø9$#ur ÍotsÜZs)ßJø9$# ÆÏB É=yd©%!$# ÏpÒÏÿø9$#ur È@øyø9$#ur ÏptB§q|¡ßJø9$# ÉO»yè÷RF{$#ur Ï^öysø9$#ur 3
Ï9ºs ßì»tFtB Ío4quysø9$# $u÷R9$# (
ª!$#ur ¼çnyYÏã ÚÆó¡ãm É>$t«yJø9$# ÇÊÍÈ
“Dijadikan
indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak dan
sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat
kembali yang baik (surga).”
Harta sebagai sarana untuk menghimpun bekal
menuju kehidupan akhirat, Allah berfirman: Surat Al-Baqarah: 262.
tûïÏ%©!$# tbqà)ÏÿZã öNßgs9ºuqøBr& Îû È@Î6y «!$# §NèO w tbqãèÎ7÷Gã !$tB (#qà)xÿRr& $xYtB Iwur ]r& öNçl°; öNèdãô_r& yYÏã öNÎgÎn/u wur ì$öqyz óOÎgøn=tæ wur öNèd cqçRtóst ÇËÏËÈ
“Orang-orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang
dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak
menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan
mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih
hati.”
Adapun fungsi harta dapat dijelaskan sebagai
berikut[4]:
Fungsi harta sangat banyak, baik kegunaan
dalam hal yang baik maupun kegunaan hal yang jelek. Di antara sekian banyak
fungsi harta sebagai berikut:
1. Berfungsi untuk menyempurnakan pelaksanaan
ibadah yang khas (mahdhah), sebab untuk beribadah diperlukan alat-alat,
seperti kain untuk menutup aurat dalam pelaksanaan shalat, bekal untuk
melaksanakan ibadah haji, berzakat, sedekah dan hibah.
2. Untuk meningkatkan (ketakwaan) kepada Allah,
sebab kekafiran cenderung dekat kepada kekafiran, sehingga pemilikan harta
dimaksudkan untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah.
3. Untuk meneruskan kehidupan dari suatu periode
ke periode berikutnya, sebagaimana firman Allah: Surat An-Nisa: 9.
|·÷uø9ur úïÏ%©!$# öqs9 (#qä.ts? ô`ÏB óOÎgÏÿù=yz ZpÍhè $¸ÿ»yèÅÊ (#qèù%s{ öNÎgøn=tæ (#qà)Guù=sù ©!$# (#qä9qà)uø9ur Zwöqs% #´Ïy
“Dan hendaklah takut
kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka
anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh
sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan Perkataan yang benar.”
4. Untuk menyelaraskan (menyeimbangkan) antara
kehidupan dunia dan akhirat. Nabi SAW bersabda:
ليس بخير كم من ترك الدنيا لآخرته ولآخرة لدنياة حتى يصيبا
جميعا فإن الدن بلاغ الى الآخرة (رواه البخارى)
Bukanlah orang yang baik yang meninggalkan
masalah dunia untuk masalah akhirat, dan yang meniggalkan masalah akhirat untuk
urusan dunia, sehingga seimbang di antara keduanya, karena masalah dunia adalah
menyampaikan manusia kepada masalah akhirat.
5. Untuk mengembangkan dan menegakkan ilmu-ilmu,
karena menuntut ilmu tanpa biaya akan terasa sulit, misalnya, seseorang tidak
dapat kuliah di perguruan tinggi, jika ia tidak memiliki biaya.
6. Untuk memutar (men-tasharruf)
peran-peran kehidupan, yakni adanya pembantu dan tuan, adanya orang kaya dan
miskin yang saling membutuhkan, sehingga tersusunlah masyarakat yang harmonis
dan berkecukupan.
7. Untuk menumbuhkan silaturahmi, karena adanya
perbedaan dan keperluan antara satu sama lain. Firman Allah: Surat Al-Hasyr: 7.
ös1 w tbqä3t P's!rß tû÷üt/ Ïä!$uÏYøîF{$# öNä3ZÏB 4
“Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di
antara kamu.”
Penggunaan
harta dalam ajaran Islam harus senantiasa dalam pengabdian kepada Allah dan
dimanfaatkan dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah.
Pemanfaatan harta pribadi tidak boleh hanya untuk pribadi pemilik harta,
melainkan juga digunakan untuk fungsi sosial dalam rangka membantu sesama
manusia.[5]
A. Macam-Macam
Harta
1. Harta Mutaqawwim
dan Ghair Mutaqawwim. Harta Mutaqawwim adalah sesuatu yang
boleh diambil manfaatnya menurut syara’. Atau semua harta yang baik jenisnya
maupun cara memperoleh dan penggunaanya. Harta Ghair Mutaqawwim
adalah sesuatu yang tidak boleh diambil manfaatnya, baik jenisnya, cara
memperolehnya maupun cara penggunaanya.
2. Mal Mitsli dan Mal Qimi Harta
Mitsli adalah benda-benda yang ada persamaan dalam kesatuan-kesatuannya,
dalam arti dapat berdiri sebagaimana di tempat yang lain tanpa ada perbedaan
yang perlu dinilai. Harta Qimi adalah benda-benda yang kurang dalam
kesatuan-kesatuannya karena tidak dapat berdiri sebagian di tempat sebagian
yang lainnya tanpa ada perbedaan.
3. Harta Istihlak
dan harta Isti’mal. Harta Istihlak adalah sesuatu yang tidak
dapat diambil kegunaanya dan manfaatnya secara biasa kecuali dengan
menghabiskannya. Harta Istihlak terbagi menjadi dua, yaitu: Istihlak
Haqiqi adalah suatu benda yang menjadi harta yang secara jelas (nyata)
zatnya habis sekali digunakan. Istihlak Buquqi adalah suatu harta
yang sudah habis nilainya bila telah digunakan tetapi zatnya masih tetap ada.
Harta Isti’mal adalah sesuatu yang dapat digunakan berulanag kali dan
materinya tetap terpelihara. Harta isti’mal tidaklah habis dengan satu
kali menggunakan tetapi dapat digunakan lama menurut apa adanya.
4. Harta Manqul
dan Harta Ghair Manaqula. Harta Manqul adalah segala harta
yang dapat dipindahkan (bergerak) dari satu tempat ke tempat lainya baik tetap
ataupun berubah kepada bentuk yang lainnya seperti uang, hewan, benda-benda
yang ditimbang atau diukur. Harta Ghair Manaqul adalah sesuatu
yang tidak bisa dipindahkan dan dibawa dari satu tempat ke tempat lain.
B.
Pengertian Hak dan Milik
Kata hak
berasal dari bahasa Arab al-haqq, yang secara etimologi mempunyai beberapa
pengertian yang berbeda, di antaranya berarti: milik, ketetapan dan kepastian,
menetapkan dan mejelaskan, bagian (kewajiban), dan kebenaran.
Contoh al-haqq
diartikan dengan ketepatan dan kepastian terdapat dalam surat Yasin ayat 7:
ôs)s9 ¨,ym ãAöqs)ø9$# #n?tã öNÏdÎsYø.r& ôMßgsù w tbqãZÏB÷sã ÇÐÈ
“Sesungguhnya telah pasti Berlaku Perkataan (ketentuan Allah)
terhadap kebanyakan mereka, karena
mereka tidak beriman.”
Dalam mitologi fiqh
terdapat beberapa pengertian al-haqq yang dikemukakan oleh para
ulama fiqh, di antara menurut Wahbah al-Zuhaily:[6]
Kata milik berasal dari bahasa Arab al-milk,
yang secara etimologi berarti penguasaan terhadap sesuatu. Al Milk juga
berarti sesuatu yang dimilki (harta). Milk juga merupakan hubungan
seseorang dengan suatu harta yang diakui oleh syara’, yang menjadikannya
mempunyai kekuasaan khusus terhadap harta itu, sehingga ia dapat melakukan
tindakan hukum terhadap harta tersebut, kecuali adanya kalangan syara’. Kata
milik dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari kata al-milk dalam
bahasa Arab.
Secara
mitologi, al-milk didefinisikan oleh Muhammad Abu Zahrah[2]
sebagai berikut:
إختصاص يمكن صاحبه شرعا أن يستبد بالتصرف والانتفاع عند عدم
المانع الشرعي.
“Pengkhususan seseorang terhadap pemilik
sesuatu benda menurut syara’ untuk bertindak secara bebas dan bertujuan mengambil
manfaatnya selama tidak ada penghalang yang bersifat syara”
Berdasarkan
definisi tersebut, dapat dibedakan antara hak dan milik. Untuk lebih jelasnya
dicontohkan sebagai berikut: Seorang pengampu berhak menggunakan harta orang
yang berada di bawah ampuannya. Pengampu berhak untuk membelanjakan harta itu
dan pemiliknya adalah orang yang berada dibawah ampuannya. Dengan kata lain,
tidak semua yang memiliki benda berhak menggunakan dan tidak semua yang punya
hak penggunaan dapat memiliki.
Hak yang
dijelaskan di atas adakalanya merupakan sulthah (kekuasaan) adakalanya
berupa taklif (tanggung jawab).
1. Sulthah terbagi dua, yaitu sulthah ‘ala al-nafsi
dan ‘ala syaiin mu’ayyanin.
-
Sulthah ‘ala al-nafsi ialah hak seseorang terhadap jiwa, seperti hak hadhanah
(pemeliharaan anak)
-
Sulthat ‘ala syaiin mu’ayyanin ialah hak manusia untuk memiliki sesuatu,
seperti seseorang berhak memiliki mobil.
2. Taklif adalah orang yang bertanggung jawab. Taklif
adakalanya tanggungan pribadi (‘ahdah syakhshiyyah), seperti seorang
buruh menjalankan tugasnya, adakalanya tanggungan harta (‘ahdahmaliyah),
seperti membayar utang.
A. Sebab-Sebab
Pemilikan
Para ulama fiqh menyatakan bahwa ada
empat cara pemilikan harta yang disyari’atkan Islam:[7]
1. Melalui penguasaan terhadap harta yang belum
dimiliki seseorang atau lembaga hukum lainnya, yang dalam Islam disebut harta
yang mubah. Contohnya: bebatuan di sungai yang belum dimiliki seseorang atau
lembaga hukum. Apabila seseorang mengambil batu dan pasir dari sungai itu dan
membawanya ke rumahnya, maka batu dan pasir itu menjadi miliknya, dan orang
lain tidak boleh mengambil batu pasir yang telah ia kuasai itu.
2. Melalui suatu transaksi yang ia lakukan dengan
orang atau suatu lembaga hukum, seperti jual beli, hibah dan wakaf.
3. Melalui peninggalan seseorang, seperti
menerima harta warisan dari ahli warisnya yang wafat.
4. Hasil/buah dari harta yang telah dimilki
seseorang, sama ada hasil itu datang secara alami, seperti buah pohon di kebun,
anak sapi yang lahir dan bulu domba seseorang, atau melalui suatu usaha
pemiliknya, seperti hasil usaha sebagai pekerja atau keuntungan dagang yang
diperoleh seorang pedagang.
B. Hikmah
Kepemilikan
Dengan
mengetahui cara-cara pemilikan harta menurut syariat Islam banyak hikmah yang
dapat digali untuk kemaslahatan hidup manusia, antara lain dalam garis
besarnya:
1. Manusia tidak boleh sembarangan memiliki
harta, tanpa mengetahui aturan-aturan yang berlaku yang telah disayariatkan
Islam.
2. Manusia akan mempunyai prinsip bahwa mencari harta
itu harus dengan cara-cara yang baik, benar dan halal.
3. Memiliki harta bukan hak mutlak bagi manusia,
tetapi merupakan suatu amanah (titipan) dari Allah SWT yang harus digunakan dan
dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan hidup manusia dan disalurkan di
jalan-jalan Allah untuk memperoleh rida-Nya.
4. Menjaga diri untuk tidak terjerumus kepada
hal-hal yang diharamkan oleh syara’ dalam memiliki harta.
5. Manusia akan hidup tenang dan tentram apabila
dalam mencari dan memiliki harta itu dilakukan dengan cara-cara yang baik,
benar dan halal, kemudian digunakan dan dimanfaatkan sesuai dengan panduan
(aturan-aturan) Allah SWT.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Istilah HARTA,
atau al-mal dalam al-Qur’an maupun Sunnah tidak dibatasi dalam ruang
lingkup makna tertentu, sehingga pengertian al-Mal sangat luas dan selalu
berkembang. Kriteria harta menurut para ahli fiqh terdiri atas : Pertama, memiliki
unsur nilai ekonomis. Kedua, unsur manfaat atau jasa yang diperoleh dari
suatu barang.
Pandangan Islam mengenai harta
dapat diuraikan sebagai berikut:
Pertama, Pemiliki Mutlak terhadap segala
sesuatu yang ada di muka bumi ini adalah Allah SWT.
Kedua, status harta yang dimiliki manusia
adlah sebagai berikut :
1.
harta sebagai amanah (titipan) dari Allah SWT. Manusia
hanyalah pemegang amanah karena memang tidak mampu mengadakan benda dari tiada.
2.
Harta sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan manusia bisa
menikmatinya dengan baik dan tidak berlebih-lebihan. Sebagai perhiasan hidup
harta sering menyebabkan keangkuhan, kesombongan serta kebanggaan diri.
3.
Harta sebgai ujian keimanan. Hal ini menyangkut soal cara
mendapatkan dan memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran Islam atau tidak.
4.
harta sebagai bekal ibadah, yakni untuk melaksankan
perintahNyadan melaksanakan muamalah si antara sesama manusia, melalui zakat,
infak, dan sedekah
B. Saran
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak
terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari para pembaca terutama pada dosen mata kuiah ini, agar dapat
pembuatan makalah selanjutnya menjadi lebih baik. Atas kritik dan saranya,
penulis ucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Mujieb, Abdul. 1994. Kamus Istilah Fiqh. Jakarta: PT. Pustaka
Firdaus.
Haroen, Nasrun. 2007. Fiqh Muamala., Jakarta: Gaya
Media Pratama.
Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah.
Al-Zuhaily, Wahbab. 2005. Al Fiqh al-Islami wa
Adillatuh. Damaskus: Dar al-Fikr.
Zahrah, Muhammad Abu. 1962. Al-Milkiyah wa Nazhariyah
al-‘aqad fi al-syari’ah al-Islamiyah. Mesir; Dar al-Fikr al-Arabi
[2] Muhammad
Abu Zahrah, Al-Milkiyah wa Nazhariyah al-‘aqad fi al-syari’ah al-Islamiyah, (Mesir;
Dar al-Fikr al-Arabi, 1962), hlm. 15.
[1] Lihat
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, hlm. 27-29. Lihat pula Rahmat Syafe’i.
Fiqh Muamalah, hlm. 30-31.
[5] M. Abdul Mujieb (et al), Kamus Istilah
Fiqh, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994), cet. Ke-1, hlm. 191.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar