Sabtu, 19 Maret 2016

Hukum Adat di Aceh Tenggara (KUTA CANE)



Makalah Hukum Adat

Hukum Adat di
Aceh Tenggara

Disusun
Oleh

FARRAH MEUTIA


Jurusan: TARBIYAH 
Prodi: PBI
                  
 

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
ZAWIYAH COT KALA LANGSA
2013 / 2014

BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Aceh terdiri dari berbagai bahasa salah satunya Alas, suku Alas secara geografis terletak di dekat Sumatra Utara, Blang Keujren (Gayo), Aceh Singkil dan Tapak Tuan. Kuta Cane (Alas) terdapat gunung Lauser dan banyak sungai-sungai yang mengalir dari pegunungan melintasi higga ke aliran sungai Blang Keujren dan banyak adat serta suku yang bervariasi  yang terdapat di aceh alas ini. Alasan ini yang mendorong  saya menulis makalah ini yang berjudul “hukum adat di Aceh Tenggara” agar pembaca lebih mengetahui system adat yang diterapkan Kuta Cane.

B.      Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut;
1.      Sejarah kabupaten Aceh Tenggara.
2.      Sejarah dan Masyarakat Aceh Tenggara.
3.      Aturan adat suku Alas dalam melindungi alam.
4.      Kebijakan yang dilakukan pemerintah Aceh Tenggara.



BAB II
PEMBAHASAN
HUKUM ADAT DI ACEH TENGGARA
A.    Kabupaten Aceh Tenggara
Kabupaten Aceh Tenggara adalah salah satu kabupaten di Aceh, Indonesia. Kabupaten ini berada di daerah pegunungan dengan ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut, yakni bagian dari pegunungan Bukit Barisan. Taman Nasional Gunung Leuser yang merupakan daerah cagar alam nasional terbesar terdapat di kabupaten ini. Pada dasarnya wilayah Kabupaten Aceh Tenggara kaya akan potensi wisata alam, salah satu diantaranya adalah Sungai Alas yang sudah dikenal luas sebagai tempat olah raga Arung Sungai yang sangat menantang. Secara umum ditinjau dari potensi pengembangan ekonomi, wilayah ini termasuk Zona Pertanian. Potensi ekonomi daerah berhawa sejuk ini adalah kopi dan hasil hutan. Dalam bidang Pertambangan, Aceh Tenggara memiliki deposit bahan galian golongan-C yang sangat beragam dan potensial dalam jumlah cadangannya.
B.     Sejarah dan Masyarakat Aceh Tenggara
Aceh tenggara lebih multikultural di banding aceh bagian tengah (Aceh tengah, bener meriah dan gayo lues) yakni di diami oleh lebih dari 3 suku yaitu: suku Alas sebagai suku tempatan di kabupaten ini di ikuti oleh suku singkil,Aceh,Karo,Batak,Gayo,Jawa,Minangkabau, Mandailing, Nias dan suku Aneuk Jamee.
Kabupaten ini memiliki suatu keunikan, di mana mempunyai masyarakat yang majemuk tetapi hampir tidak ada terdengar sama sekali kerusuhan yang melibatkan Sara(suku,Agama,dan Ras),masyarakatnya mampu menjaga perdamaian sampai saat ini.
Kabupaten Aceh Tenggara adalah pemekaran dari Kabupaten Aceh Tengah,awal berdirinya kab,Agara(kabupaten Aceh tenggara) adalah di mulai ketika pada tgl 06-Desember-1957 terbentuk panitia tuntutan rakyat Alas dan Gayo Lues melalui sebuah rapat di sekolah Min prapat hulu yg di hadiri oleh 60 pemuka adat Alas dan Gayo lues, dan hasilnya adalah. :
 

1)      Ibukota Aceh tengah di pindahkan dari Takengon ke kutacane.
2)   Jika tidak memungkinkan memindahkan ibukota ke Kutacane,maka kewedanan Alas dan gayo lues di jadikan satu kabupaten yg tidak terlepas dari Provinsi Aceh.


Atas tuntutan itu diadakanlah rapat raksasa di Kutacane yg di hadiri lebih dari 200.000 orang. Akhirnya pada tanggal 26-juni-1974 kab,Agara di resmikan oleh mentri dalam negeri H,Amir machmud sebagai kabupaten yg terlepas dari kabupaten Aceh tengah,sekaligus diangkatlah Bupati pertama yakni (Alm) H,syahadat.

C.    Aturan Adat Suku Alas dalam Melindungi Alam
Di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas hidup berdampingan dengan 11 etnis lainnya. Walaupun memiliki keanekaragaman dari segi etnis dan agama, di tanah Alas tidak pernah terjadi konflik antar penduduk yang diakibatkan oleh perbedaan tersebut. Inilah yang membuat wilayah perbukitan di daerah Aceh Tenggara terkesan damai dan asri heterogen.
Keheterogenan kehidupan di tanah Alas kemudian menjadi keunikan tersendiri yang dimiliki oleh Aceh Tenggara, membuat kehidupan setiap elemen masyarakatnya sangat berwarna dan bervariasi. Setiap unsur masyarakat yang berbeda kebudayaan saling berbaur dan saling mempengaruhi antara satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain.
Atas dasar etiologi kehadiran berbagai etnis di tanah Alas, jelaslah bahwa tidak ada satu orang pun yang dapat hidup berdiri sendiri, begitu juga dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten ini. Semua pihak perlu terlibat baik secara langsung maupun tidak. Keberagaman suku dan keyakinan akan menjadikan keunikan tersendiri bagi masyarakat di sana dalam membangun daerahnya. 
Untuk memelihara keasrian alamnya, masyarakat Alas memeliki beberapa aturan adat dalam upaya penyelamatan sumber daya alam yang di kabupaten Aceh Tenggara. Aturan-aturan tersebut terbagi dalam beberapa definisi, berikut ini beberapa diantaranya:

Dheleng (hutan) sebagai kekayaan imum/kepala mukim bersama rakyatnya di Tanah Alas adalah selebar wilayah kemukiman dengan panjang jauh ke dalam hutan ½ (setengah) hari perjalanan kaki atau hingga dhalan/pasakh mesosen, yang dimanfaatkan tidak merusak, agar aliran air sungai/pakhik jume tetap normal untuk pertanian/bersawah dan keperluan hidup rakyat.
Pencuri hasil hutan dan perusakannya (menebang kayu, pengambil rotan, dan produk non kayu tanpa sepengetahuan MAA kampung setempat dan tanpa izin dari imum/kepala mukim) dikenakan sanksi adat menyerahkan seluruh hasil curiannya ke kampung tempat kejadian pelanggaran adat. Pelaku dikenakan denda tiga puluh dua penengah hingga mbelin (Rp320.000-Rp3.200.000).
Bagi pengebom, peracun, penyetrum, dan pemusnahan ikan jurung, ciih khemis, dan ciih situ dan jenis ikan lainnya di sepanjang sungai Lawe Alas, sungai-sungai kecil, dan irigasi desa, termasuk seluruh tali air di Tanah Alas dikenakan saksi adat ngateken kesalahen dan ikan tangkapan di luar ketentuan adat tersebut dikembalikan ke MAA setempat serta dikenakan denda tiga puluh dua penengah hingga mbelin (Rp320.000-Rp3.200.000) bagi si pelaku.
Seseorang yang mengambil ikan wilayah pinahan (lubuk larangan) dan sejenisnya tanpa izin masyarakat adat yang mengelola secara adat di Tanah Alas dikenakan saksi ngateken kesalahen dan ikan tangkapan tersebut dikembalikan ke MAA kampung setempat untuk diserahkan kepada pemiliknya serta dikenakan denda tiga puluh dua penengah hingga mbelin (Rp320.000-Rp3.200.000).
Orang yang mengambil, menangkap, atau memburu satwa liar dan sejenisnya tanpa izin MAA setempat, dikenakan saksi adat ngateken kesalahen dan hasil buruan/tangkapannya tersebut dikembalikan ke MAA setempat untuk diserahkan atau dikembalikan ke habitatnya bila masih hidup, dan dikenakan denda tiga puluh dua penengah hingga mbelin (Rp320.000-Rp3.200.000).
Hukum adat (customary law) adalah bagian dari hukum, ialah hukum tidak tertulis dalam suatu masyarakat yang biasanya bermata pencaharian pertanian di daerah pedesaan. Hukum adat terjadi dari keputusan-keputusan orang-orang berkuasa dalam pengadilan. 
A.W. Wijaya dalam tulisannya yang berjudul “Manusia, Nilai Tradisional dan Lingkungan”, berperspektif bahwa hukum adat adalah norma lama yang masih terdapat dimana-mana di daerah dan di dalam masyarakat yang merupakan kekayaan yang tidak ternilai harganya, termasuk di daerah Suku Alas berada. Maka sudah semestinya kita menghargai dan mematuhi hukum adat yang berlaku dimanapun kita tinggal, “di mana tanah dipijak di situ langit dijunjung.”


D.    Kebijakan
1.      Kebijakan Sektoral
Kebijakan umum pembangunan Kabupaten Aceh Tenggara adalah sebagai berikut:
a.       Meningkatkan derajat keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan moral dan budi pekerti yang luhur;
b.      Mengupayakan peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan prioritas penanganan kemiskinan dan pengangguran dengan berbagai upaya, antara lain;

Peningkatan kecerdasan dengan penekanan pada lulusan yang berkualitas serta penyiapan tenaga kerja terampil. Peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat yang difokuskan pada upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat, penanganan ibu hamil, bayi dan balita serta pengembangan jaminan sosial. Peningkatan pendapatan melalui pemberdayaan ekonomi kerakyatan guna mewujudkan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat
c.       Menciptakan pemerintahan yang baik dan bertanggungjawab yang ditandai adanya kemampuan cara berfikir dan bertindak yang baru melalui pembenahan sistem kepemerintahan. penyiapan kelembagaan/lembaga yang mutakhir dan peyiapan SDM aparatur yang efisien;
d.      Menyelenggarakan sistem pengawasan yang efektif dengan memfungsikan lembaga pengawas internal dan lembaga pengawas eksternal;
e.       Meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam proses penentuan kebijakan (tahap formulasi, implementasi maupun evaluasi) melalui forum formal maupun informal;
f.       f. Mengupayakan penegak supremasi hukum dalam rangka mencapai ketertiban, keamanan, dan ketentraman masyarakat;
g.      Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan PDRB dengan berbagai upaya, antara lain :
  Intensifikasi dan ekstensifikasi penggalian sumber pendapatan daerah, secara efektif dan efisien ;
-        Pengelolaan dan pemeliharaan sarana prasarana daerah yang sudah dimiliki ;
-      Terobosan kebijakan yang menciptakan kondisi yang ideal bagi para investor dengan pola kemitraan; serta
-      Membangun sarana dan prasarana produksi baru guna mewujudkan kemandirian dalam rangka melaksanakan otonomi daerah.
h.      Mewujudkan lingkungan hidup yang seimbang, terkendali dan lestari dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat; dan
i.        Pembangunan infrastruktur daerah dengan penekanan pada sarana irigasi.

2.      Kebijakan Spasial
Oleh karena seluruh pelaksanaan pembangunan dalam kerangka sektoral akan selalu menempati ruang tertentu, maka diperlukan kebijakan spasial dalam rangka menentukan lokasi dan alokasi pemanfaatan ruang untuk mewadahi kegiatan sektoral. Bentuk nyata dari arahan kebijakan spasial adalah ketentuan jenis dan intensitas kegiatan yang akan dikerjakan pada kawasan tertentu. Dalam menentukan kebijakan spasial ini disesuaikan dengan masing-masing potensi dan masalah wilayah tempat dilaksanakannya pembangunan serta menggunakan konsep corridor and radial concentric development. Secara makro Kabupaten Aceh Tenggara terbagi menjadi daerah sub urban dan daerah rural yang terkait erat dengan perkembangan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Berkaitan dengan hal diatas serta dengan memperhatikan ragam potensi bagian-bagian wilayah serta terjadinya kecenderungan perkembangan ragam jenis kegiatan, diperlukan tema-tema pengelolaan/pengembangan yang merupakan integrasi/kompromi pemanfaatan ruang yang berfungsi sebagai penanda dan pengarah pencapaian tujuan dimasa yang akan datang.
Hal-hal penting yang menjadi dasar penetapan tema-tema pengelolaan dan pengembangan adalah kondisi tumpang tindih dari potensi kesesuaian/ kemampuan lahan, fakta produktivitas budidaya, kegiatan ekonomi dan realitas perkembangan permukiman.




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Kabupaten Aceh Tenggara adalah salah satu kabupaten di Aceh, Indonesia. Kabupaten ini berada di daerah pegunungan dengan ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut, yakni bagian dari pegunungan Bukit Barisan
Di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas hidup berdampingan dengan 11 etnis lainnya. Walaupun memiliki keanekaragaman dari segi etnis dan agama, di tanah Alas tidak pernah terjadi konflik antar penduduk yang diakibatkan oleh perbedaan tersebut. Inilah yang membuat wilayah perbukitan di daerah Aceh Tenggara terkesan damai dan asri heterogen.
Hukum adat (customary law) adalah bagian dari hukum, ialah hukum tidak tertulis dalam suatu masyarakat yang biasanya bermata pencaharian pertanian di daerah pedesaan. Hukum adat terjadi dari keputusan-keputusan orang-orang berkuasa dalam pengadilan.
B.     Saran
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca terutama pada dosen mata kuiah ini, agar dapat pembuatan makalah selanjutnya menjadi lebih baik. Atas kritik dan saranya, penulis ucapkan terima kasih.





DAFTAR PUSTAKA
Dr. Thalib Akbar, M.Sc. 2004. Sanksi dan Denda Tindak Pidana Adat Alas.
Simarmata, Rikarda.  2006.   Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat Di Indonesia. Regional Initiative on Indigenous Peoples Rights and Development (RIPP) UNDP Redional Center in Bangkok.
Suwarto (dkk), 2006, Mengangkat Keberadaan Hak-hak Tradisional Masyarakat Adat Rumpun Melayu Se-Sumatera, Pekanbaru : Unri Press.
Widjaja , A.W. (Ed.) 1986     Manusia Indonesia: Individu, Keluarga dan Masyarakat. Jakarta: Penerbit Akademika Pressindo C.V
Zul Arma. 2010. Aceh Tenggara Negeri Leuser yang Perlu Komitmen. Dimuat di Buletin Tuhoe Edisi XII.